Ketiadaan halangan dalam memperoleh hampir apa pun itu membuat keadaan mudah “banjir”. Ini barangkali seperti yang dibayangkan penyanyi asal Inggris Peter Gabriel dalam “Here Comes the Flood”. Meski efeknya bisa sangat berbeda (yakni ketika setiap orang bisa saling membaca pikiran masing-masing), dalam hal ini hanya yang lurus dan terbuka yang bakal bertahan.
Situasinya, paling tidak, membuat saya ingat zaman ketika musik jenis apa pun bisa diperoleh dengan mudah dan murah melalui kaset.
Ini masa sebelum awal 1985, ketika kaset bajakan tak lagi diproduksi di Indonesia akibat kemarahan Bob Geldof (penyelenggara konser Live Aid). Padahal kaset bajakan itulah yang membuat penggemar musik di negeri ini bisa mengikuti perkembangan mutakhir di luar.
Waktu itu, album-album terbaru selain bisa segera diperoleh, juga sangat terjangkau. Pada 1980-an, harga satu kaset hanya Rp 500, sementara harga seharusnya (bila royalti dibayar) adalah Rp 6.000. Sejak pertengahan 1970-an, saya bisa mengenal Genesis, Pink Floyd, Rush, Yes, dan lain-lain. Bahkan grup-grup yang tak terkenal sekalipun…

Kini, dengan minat yang luas, alangkah sulitnya untuk bisa selalu up-to-date. Pertama, masalahnya terletak pada ketersediaan album di toko lokal. Di toko tertentu, memang ada album luar negeri produksi mainstream. Atau, ada pula yang dirilis label besar, tetapi di sini tak banyak peminatnya (sehingga perpanjangan label itu tak mau mencetaknya di sini). Artinya, ya beruntung saja kalau kebetulan menjumpai yang dicari.
Tetapi bagi sebagian orang, persoalan lainnya terletak pada harga. CD impor sering kali baru bisa dibawa pulang dengan harga sekurang-kurangnya dua kali lipat harga produksi dalam negeri. Mereka yang tergolong mampu pun, pada akhirnya, akan memilih-milih dalam membeli.
Penggemar musik di era sekarang yang hanya bisa mengikuti perkembangan melalui toko setempat, siapa pun orangnya, dijamin akan “kuper”. Sebab pilihannya sangat terbatas — dibandingkan dengan jumlah CD dengan aneka jenis musik yang diproduksi pada suatu saat.
Orang memang bisa memperoleh informasi mutakhir mengenai musisi atau band (layaknya dulu orang mengenal musisi atau band dari majalah Aktuil), tapi ya hanya sampai di situ. Radio? Sangat tidak membantu. Daftar lagu di radio (di tengah acara bincang-bincang yang sering membosankan), umumnya adalah Top 40, kalau bukan rilisan baru.
Di luar pergaulan, di situlah “kepustakaan” di dunia maya membantu. Di luar aneka peluang gratisan (yang ilegal), sebenarnya kita bisa menguji apakah musik seorang musisi atau band baru cocok dengan selera atau tidak.
Caranya melalui mendengarkan lagu-lagu contoh. Ini bisa kita lakukan, misalnya, di toko maya terbesar Amazon.com. Masalahnya, bagi sebagian orang, durasi setiap lagu yang hanya 30 detik tidak cukup memberi gambaran.
Tetapi kelimpahan itu — jika kita manfaatkan apa pun niatnya — akan menghadapkan kita pada satu keniscayaan: kapasitas hard disk yang terus-menerus harus ditambah (dengan membeli yang baru). Selain itu, waktu yang sempit membuat kita sulit menyimak semua yang bisa diperoleh hanya dengan mengklik tombol untuk mendownload. Kecuali kita hanya bekerja untuk mendengarkan dan menilai musik.
Saya sempat mengalaminya. Banyak album berdesak-desakan dalam hard disk yang sebagian besar belum pernah saya dengarkan. Di luar rumah, saya sudah mencoba untuk mengaktifkan iPod setiap kali ada waktu memungkinkan. Misalnya di mobil, jika suasana hati saya untuk menyopir sedang bagus, atau di kereta dalam perjalanan ke kantor.
Kenyataannya, waktu yang ada itu tak bisa mengakomodasi keperluan saya. Musik yang sudah saya simak pun tak banyak yang membekas.
Barangkali ada hal lain juga yang membuat kemampuan koneksi saya dengan musik-musik baru makin terbatas. Tapi yang jelas situasi itu menimbulkan ketidaknyamanan. Karenanya kini saya memutuskan untuk membatasi diri: hanya mencoba sesuatu yang benar-benar saya minati dan yang peluangnya besar untuk saya beli. Buat saya, produk fisik masih belum tergantikan.